iya, benar, ayu menulis cerpen malam ini.
ada-ada aja aduh keinginanku!
siap-siap karena ini akan super cringe,
semoga gak terlalu bikin merinding banget, ya
soalnya vibesnya sekarang lagi dengerin lagu
sezairi, it's you.
here we go.
persaingan antara matanya dan bulan
"kamu kok makan es krim sih, kan udah malem"
"ya emang ada aturan es krim makannya siang aja", ara sewot sambil menendang kecil rumput di depannya.
"enggak, sih. tapi nanti batuk gimana?" balas laki-laki di samping ara, sambil mengelap tetesan es krim yang jatuh di antara jemari ara.
ara melahap langsung bulatan akhir es krimnya yang dia sengaja sisakan untuk melahap dalam satu kali buka mulut, favoritnya, katanya. "sampe aku gak batuk besok, kamu mau apa?"
dia enggan membalas, ara memang keras kepala, tapi dia selalu suka melihat cara ara menikmati es krimnya.
ara langsung mengambil kamera polaroidnya yang ia bawa saat laki-laki itu mengajaknya menghirup udara malam di taman dekat rumahnya, sedikit kesulitan menggunakannya karena kamera itu sudah lama ara miliki. tak lama setelah sudah bisa digunakan, ia memotret laki-laki itu, lalu tersenyum.
"kamu kurang tidur, ya?"
laki-laki yang tadinya hanya terdiam, bahkan hingga tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kamera ara, langsung memalingkan pandangannya dari perosotan yang sudah bolong-bolong, "kelihatan banget, ya?" katanya dengan mata sayup-sayup.
"sedikit."
"sisanya?"
"sisanya.. eh, emang harus ada sisanya? emang kamu kira kembalian?"
laki-laki itu terkekeh, dia kembali memalingkan wajahnya dari ara yang sebenarnya sudah berusaha keras mendapatkan perhatiannya dari tadi. tendangan kakinya, es krimnya, hingga kameranya. gagal, semuanya gagal. apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu?
"kamu tapi suka tidur gak?" ara gak mau menyerah begitu saja.
"itu favorit aku, sih."
ara menatap mata laki-laki itu yang selalu berbinar, ditemani sedikit genangan air dan warna kepink-pinkan. "ah, siapa yang buat kamu kesulitan tidur, sih?", tentu saja itu ucap ara dalam hatinya.
"kenapa suka tidur?"
"aku terlelap, aku tenang"
ara bingung balas apa, dia hanya menatap laki-laki itu.
"aku bermimpi, jika baik aku akan dihibur beberapa saat, jika buruk, ketika aku bangun, aku akan bersyukur karena itu hanya mimpi."
"berapa lama kamu tidur?"
"lama, biasanya. tapi, sekarang hanya sebentar"
ara mulai khawatir dengan jawabannya, jawaban dari laki-laki yang terus menatap lurus ke depan, sementara ara selalu menatap matanya, oh, itu hanya fokusnya, faktanya ia menatap seluruh dari laki-laki itu. "kenapa?", tanya ara hati-hati.
"bermimpi tidak membuatku tenang, aku tetap gelisah. bahkan di tidurku", laki-laki itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, "aku menyerah di tidurku dan bangunku"
ara tidak suka teka-teki, faktanya, ara paling bodoh dalam memahami maksud dari setiap kata yang terucap dari laki-laki itu. "menyerah?"
"aku tahu, tidak akan ada hal yang mampu menenangkanku sekarang. jadi, aku menyerah, aku menerima aku akan tersakiti. aku berhenti berharap kedamaian"
ara--ara semakin bingung mau jawab apa, nampaknya percakapan ini semakin serius, "kamu gak apa-apa?"
"iya, gak apa-apa. tenang aja."
"jangan minta aku tenang, ketika kamu gak, ya! aku mau gelisah sama kamu, kok! boleh?" perintah dan pinta ara dengan mantap.
laki-laki itu tersenyum kecil, mulai menoleh kembali ke arah perempuan yang selalu menatapnya dari tadi, "kamu beneran mau gelisah sama aku?"
"iya, jangan sendirian, ya?" ara tersenyum ke arahnya, setidaknya, ini saja yang bisa ia beri kepada laki-laki yang selalu ara kasihi itu. ara tidak terlalu pandai dalam memahami laki-laki itu, tapi ara tahu, ara selalu bisa ada untuknya. ara percaya diri akan hal itu.
laki-laki itu membelokkan tubuhnya menghadap ara. ara tersipu. asik, dia berhasil mendapatkan perhatiannya. laki-laki itu tersenyum dengan matanya yang sudah sepantasnya dapat tidur setidaknya sepuluh (atau mungkin, tiga puluh?) menit. jangan tanyakan tentang ara, walaupun ia juga sama tidak semudah itu untuk tidur, dia selalu punya tidur yang nyenyak, apalagi malam ini setelah mendapat senyum darinya.
setelah menatap ara dengan senyumnya beberapa saat, laki-laki itu bersuara kembali, "ternyata, aku lebih butuh ditemani daripada ketenangan. aku jauh tidak apa-apa sekarang. terima kasih, ya?" katanya, sambil menaruh bunga (entah bunga apa, dia petik saat berjalan dari toko es krim ke taman) yang dia mainkan di tangan kanannya sedari tadi ke tas kecil ara yang terbuka sedikit.
"buat aku?"
"nitip aja sih"
"ih!"
laki-laki itu tertawa, matanya tetap dengan air yang menggenang namun berbinar--jauh lebih berbinar dari biasanya. "enggak atuh ra, iya itu buat kamu. diterima, ya?"
ara tersenyum, "ok siap laksanakan! tenang aja! disimpan pasti! nanti dilaminating, dipajang, mau difigurain, kamu temenin aku ke toko figura besok, ya!" kata ara yang langsung bawel karena semangat saking senangnya.
"yah, agak usaha ya ra jadinya besok" goda laki-laki itu, ia selalu suka cara ara mengapresiasi dan menerima setiap hal kecil yang ia berikan, apalagi ciri khas caranya dalam menghargai itu sangat ribet, penuh dengan hal-hal lanjutan dari sesi serah terima (baca: namun menggemaskan).
ara sudah biasa mendengar laki-laki itu mengeluh akannya, namun ara tahu, dia tidak mungkin mengeluh dengan tulus, ara tahu, laki-laki itu diam-diam juga menunggu tingkahnya.
"bulan harus minder liat kamu!"
"kamu mau ngegombal, ra?", kata laki-laki itu agak merusak suasana, kalau menurut ara.
"sebentar duluuuuuuu" ara sedikit merengek, "persilahkan aku selesaikan kalimat aku dulu dong!"
"Ahaha iya ara, silahkan!"
"karena mata kamu lebih indah dari bulan, bahkan di saat mata kamu perlu istirahat! bulan aja istirahatnya seharian. mata kamu seharian gak istirahat, tapi mata kamu tetap indah."
laki-laki itu kebingungan bagaimana caranya biar tidak kelihatan salah tingkah, bisa-bisanya perempuannya ini melontarkan kalimat itu. "pulang aja yuk, ra? udah malem!"
"tuh! tuh! tuhkan! kamu selalu kayak gitu kalau aku kayak gini! ah, udah ah! gak jadi! bulan, jangan takut kalah saing! kali ini kamu aku menangin!" kata ara mendongak ke atas, seakan-akan berbicara dengan bulan, lalu meninggalkan laki-laki itu di kursi taman, pura-pura ngambek.
laki-laki yang pertama kali duduk di kursi itu dengan wajah yang muram dan pikiran tidak karuan berakhir dengan senyum yang semakin indah dengan matanya yang menurut ara, tidak mungkin bulan menyainginya, tadi cuma biar kayak ngambek beneran aja. laki-laki itu bersyukur dalam hatinya, karena memiliki ara di hidupnya, dengan segala keunikan ara dalam menanggapi kesulitan hidupnya, dan cara ara yang membuatnya tidak pernah merasa sendiri, menjadi lebih kuat dari seharusnya, dan tentunya penuh rasa syukur. tidak salah laki-laki itu menaruh hatinya kepada ara.
ara yang langsung dikejar dengan larian kecil laki-laki itu jadi sok jalan cepet gitu biar ngambeknya lebih mendalami. lalu mereka ketawa-ketawa sepanjang jalan karena mereka hari ini semakin sadar, mereka saling hadir untuk saling menyayangi satu sama lain, dan itu membuat mereka tenang.
Komentar
Posting Komentar