Aku selalu suka Jakarta.
Hingar bingarnya, masalahnya, orang-orangnya, gedung tingginya, dan segala hal yang mungkin beberapanya tidak terlihat, namun ada (sok misterius!). Huh, Jakarta. Aku harap aku adalah bagianmu, soalnya keliatannya seru, tapi nyatanya aku cuma numpang lahir terus tumbuh agak jauh darimu. Tapi, aku selalu suka menjengukmu. Kamu tau kan, flyover yang panjang setelah kokas? Wah, itu favorit aku. Pemandangannya ya Tuhan, masih kalah sih sama New York tapi boleh lah dipamerin kalau turis dateng. Terutama kalau turisnya bukan dari New York ya, sama aja ieu teu ngaruh pamerna.
Jakarta, kamu tuh empet gak sih sebenernya, nampung banyak orang. Di tempat sepi aja tetep ramai, di tempat ramai rasanya mau bisa ngontrol volume di sekitar. Kamu paling tahu tentang manusia-manusia di sini, lebih dari aku (iyalah, orang cuma lewat doang biasanya, tau apa aku). Gimana, Jakarta? Menanggung banyak rahasia manusia-manusia Jakarta, berasa paling update apa jadi pengen ngungsi aja deket rumah aku? Ah jangan, aku aja mau jadi bagianmu. Oh ya! Tadi aku melihat wajahmu, bukan Monas, bukan Istana Negara, apalagi GBK. Aku lihat langitmu. Mendung, melihat dari atas genangan air yang menyelimuti daratanmu. Kamu sebenarnya sedang apa, langit Jakarta? Nangis, sedih, atau nahan ketawa? Sebenarnya, kamu habis berbuat apa terhadap manusia yang berpijak di daratanmu? Dengar-dengar semalam kamu nangis tiada henti, kenapa? Terus kamu sekarang bagaimana?
Langit Jakarta, saksi dinamika hidup orang Jakarta, kamu greget gak sih karena ngelihat dari sudut pandang yang tinggi, tapi tidak pernah bisa menyentuh atau mengontrol apa yang terjadi di bawah. Padahal kamu tahu semuanya. Bahkan kamu mungkin saja tahu mana yang terbaik tentang skenario yang terjadi di bawah. Kamu pernah gak merasa ingin membantu Jakarta? Atau jangan-jangan, kamu justru ingin membiarkan Jakarta menerima segala konsekuensi dari perbuatannya, baik atau buruk, up to Jakarta? Jangan-jangan kamu langit yang cuek! Langit yang tidak mau tahu! Langit apatis? Eh, ini aku gak lagi ngejudge kamu loh, aku bilangnya cuma; jangan-jangan. Jadi masih menerka.
Kalau kamu bisa berbicara, kamu mau ngomong apa, langit Jakarta? Kamu ingin manusia melakukan apa? Coba aku menerka kembali. Kemungkinan satu, kamu berharap manusia akan lebih banyak tertawa dan mengurangi tangis saat malam hari di jalananmu. Kemungkinan dua, kamu berharap manusia tidak akan serakah karena memperlakukan temanmu (mungkin pohon atau rumput, eh kamu temenan gak sih..?) seenak jidat. Kemungkinan ketiga, kamu berharap manusia mengakui kesalahannya dan minta maaf. Kemungkinan keempat, kamu berharap manusia bisa lebih peduli kepada manusia lainnya. Kemungkinan kelima apalagi ya, hm... kamu tidak mau berbicara? Karena semuanya percuma. HOOOO bisa-bisa. Masih banyak sih kemungkinan lainnya aku aja yang udah abis idenya. Anyway, sabar ya karena gak bisa ngomong, padahal kalo bisa mungkin aja banyak hal yang mau kamu tumpahkan. Melaporkan Jakarta dan seisinya.
Udah malem nih. Di sini lagi hujan. 00.04 WIB, hujan. Apakah kamu juga sedang menangis lagi, langit Jakarta? Hoho ikut-ikutan langit di sini aja! Langit Jakarta, aku paling tidak pernah tahu bagaimana emosimu, marah kah, senang kah, sedih kah. Aku hanya berharap kamu bisa kuat melindungi daratanmu, manusia-manusiamu. Kamu boleh marah atau sedih, wajar. Tapi kuharap kamu tidak terlalu melukai, walau aku tahu kamu pasti berkali-kali kecewa. Doakan semuanya akan baik-baik saja. Doakan manusiamu lulus menjadi manusia yang baik. Semoga suatu saat, aku bisa melihat kamu tersenyum, langit Jakarta. Karena pernah aku lihat itu, sekali saat PSBB, sepi manusianya, kamu cerah, kamu berkilau, seperti iklan sampo. Semoga kamu sering tersenyum, karena ternyata diam-diam, kamu cantik.
Komentar
Posting Komentar